Sekilas ketika kita melihat foto ini tidak ada sesuatu yang istimewa. Keindahan hamparan persawahan Dusun Ngropoh di sepanjang DAS Wirokoyang menghijau disinari warna keemasan mentari pagi. Kabut putih tipis menggelantung di atasnya seakan tidak rela jika keindahan persawahan tersebut dicuri oleh burung-burung yang berterbangan di atasnya. Mbah Sardi dengan bertelanjang kaki bersiap-siap dipinggiran sawah, dengan cekatan tangannya yang mulai berkeriput membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman padi.
Siapa sangka dibalik keindahan foto ini menyimpan sejuta cerita. Cerita pilu sudah dirasakan petani di sepanjang DAS Wiroko pada MT I. Bencana banjir bandang pada bulan November 2017 dan disusul banjir-banjir berikutnya telah memporak-porandakan area pertanian mereka. Benih yang mereka semaikan, pupuk yang mereka tebar, pematang-pematang yang mereka kerjakan berhari-hari lenyap dalam sekejap diterjang ganasnya aliran Sungai Wiroko. Setidaknya sudah terjadi 5 kali banjir pada MT 1 tahun 2018, puluhan warga Desa Kulurejo yang menggantungkan harapan untuk menuai padi dari persawahan di sekitar DAS Wiroko hanya bisa “Nerimo Ing Pandum”. Seberapa pun sisa yang tertinggal pasca banjir itulah rejeki yang bisa dibawa pulang setidaknya bisa menutupi kisah sedih mereka.
Maret 2018 area pertanian di sepanjang DAS Wiroko khusunya di Dusun Ngropoh dan Weru memasuki MT II. Prinsip kuat para petani tidak ada kata “kapok” kejadian pada MT I seakan sudah tidak dirasakan lagi. Mereka berbenah, mengulang dan memulai dari awal lagi. Harapan besar tentunya bisa menuai hasil panen yang melimpah. Sampai hari ini 30 April 2018 usia tanam mereka rata-rata sudah memasuki usia 40 hari. Jika dilihat dari fisik tanamannya pada MT II ini memberikan harapan yang besar kepada petani untuk membawa pulang hasil yang melimpah.
Harapan hanya itu kata-kata yang bisa diucapkan petani Kulurejo di sepanjang DAS Wiroko. Harapan agar tidak terulang kejadian yang sama seperti pada MT I “banjir”. Hanya “Nerimo Ing Pandum” apalah arti tangan-tangan kecil petani Kulurejo di sepanjang DAS Wiroko melawan takdir ini. Menurut penulis ini bukan takdir pendangkalan dan penyempitan DAS Wiroko adalah salah satu penyebabnya. Bisa dilihat tidak butuh waktu lama dan intensitas hujan yang lebat untuk meluapkan air dari DAS Wiroko.
Bapak Aris hartato, SE selaku pemangku jabatan tertinggi di Desa Kulurejo tidak berpangku tangan. Koordinasi dan konsolidasi dengan pihak-pihak terkait selalu diupayakan. Menurut beliau perlu upaya normalisasi DAS Wiroko khhusunya untuk aliran yangmelintasi wilayah Desa Kulurejo jika tidak ingin terulang keadian yang sama setiap tahun. Memang tidak mudah untuk mewujudkannya, regulasi, anggaran dan tata procedural menjadi kendala untuk upaya ini. Semoga ini bisa terwujud sehingga bisa mematahkan mitos petani “Nerimo Ing Pandum”.
Tinggalkan Balasan